Senin, 03 Mei 2010

Ketika Jurnalisme Diuji

Semakin berkembangnya teknologi dewasa ini sangat berpengaruh pada aktivitas jurnalisme. Aktivitas tersebut terlihat dari semakin maraknya media sosial yang beredar di dunia maya. Media-media tersebut secara tidak langsung menggeser keberadaan industri media massa sekarang. Tidak hanya koran, televisi dan radio juga bisa mendapat dampaknya. Hal ini dikarenakan dalam media-media sosial yang memang berbasis digital tersebut sudah menyediakan berita atau informasi dari ketiga media massa saat ini.
Fakta yang ada, di Amerika sudah banyak media massa yang bangkrut, khususnya massa cetak. Media massa tersebut antara lain adalah The Rocky Mountain News di Denver, yang harus gulung tikar setelah terbit selama 150 tahun. Sementara itu, The Seattle Post Intelligencer dan The San Francisco Chronicle kini hanya menerbitkan edisi online.
Menurut sebuah data riset, meskipun orang Amerika masih membaca surat kabar, sekarang internet menjadi sumber berita yang lebih populer. Media yang justru berkembang dewasa ini adalah media massa online. Memang tidak dapat dipungkiri media online memang menyajikan informasi yang lebih cepat dan dari berbagai bentuk. Artinya, di media online, kita bisa membaca informasi atau berita, melihat foto layaknya di koran, bahkan melihat video dan audio streaming layaknya di televisi dan radio. Dengan demikian kita bisa memilih produk yang akan kita konsumsi.
Melihat perkembangan teknologi yang cukup pesat tersebut bisa diprediksikan sekitar sepuluh tahun mendatang, media online-lah yang akan terus tumbuh dan berkembang. Tentunya ini akan berdampak pada aktivitas jurnalisme, terlebih media yang diproduksi.
Sudah banyak media massa cetak yang mempunyai versi online di dalam pemberitaannya. Memang diakui, kedua versi ini sangat berbeda. Artinya, yang satu memfokuskan pada kedetailan dan kelengkapan berita. Yang satu lagi memfokuskan pada kecepatan penyajian berita. Jika dilihat dari intinya, memang keduanya saling melengkapi. Artinya, orang yang tidak bisa online atau update di media online bisa melihat atau mendapatkan informasi dari versi cetaknya.
Walaupun media online berkembang di dunia, khususnya di Amerika, agaknya ini akan berbeda dengan Indonesia. Mengapa? Ingatlah orang Indonesia masih banyak yang belum atau tidak siap dengan adanya perkembangan media digital tersebut. Meskipun Indonesia merupakan pangsa pasar yang selalu mudah untuk menerima suatu inovasi atau perkembangan teknologi (misalnya dengan adanya HP keluaran terbaru, pasti langsung diserbu oleh orang-orang Indonesia yang “beruang”), banyak juga orang Indonesia yang memiliki kondisi ekonomi lemah dan gagap teknologi. Bahkan, masih banyak yang sampai dewasa ini belum bisa baca tulis aksara (buta aksara). Itu memang tidak jauh dari upaya pemerintah dalam membangun sumber daya manusia Indonesia.
Di sisi lain, kekuatan lokal masih mendominasi orang Indonesia. Adanya orang-orang yang fanatik, bahkan memiliki sifat etnosentrisme, akan sangat susah membiarkan media online untuk tumbuh dengan cepat. Mereka masih menganggap informasi-informasi yang memiliki kedekatan secara geografis adalah informasi yang penting dan pas bagi kehidupannya. Mereka tidak mencoba untuk melihat kedekatan psikologis. Contoh yang sering kita lihat misalnya Pikiran Rakyat. Warga Jawa Barat, terlebih Bandung, sangat antusias dengan koran tersebut. Ibarat hidup tak lengkap tanpa membaca koran tersebut.
Hal-hal tersebut yang menjadikan industri media massa cetak khususnya koran masih bisa berkembang di Indonesia. Radio pun masih ada kemungkinan besar untuk berjaya sepuluh tahun ke depan. Mengapa? Karena musik yang menjadi ciri khas radio Indonesia masih dipertahankan. Hal itulah yang akan menunjang dan menyokong keberadaan radio di industri media Indonesia.
Konsistensi media massa Indonesia saat ini akan tetap terjaga selama sepuluh tahun ke depan. Namun euphoria media online juga tidak terbendungkan juga.
Dengan perkembangan teknologi digital yang semakin cepat memang membuat aktivitas jurnalisme menjadi lebih mudah. Dari mana letak kemudahannya? Bisa kita lihat dari cara pencarian dan pengolahan berita atau informasi. Aktivitas jurnalisme akan cenderung terbantu karena para jurnalis akan lebih mudah dalam berhubungan dengan narasumber mereka. Hanya dengan meng-klik satu nama atau bidangnya, akan muncul banyak sekali informasi. Bahkan, untuk kegiatan wawancara pun akan semakin mudah. Walaupun dulunya bisa dengan telepon, kemungkinan dalam sepuluh tahun lagi (sudah sedikit dirasakan zaman sekarang) bisa dengan menggunakan koneksi internet. Kita bisa tatap muka lewat media. Ini juga menandakan hubungan tatap muka akan semakin berkurang , atau lebih parah lagi, tidak akan ada lagi.
Mengenai citizen journalism, mungkin saja akan marak di era ini. Mengapa? Hal ini disebabkan karena orang cenderung lebih memilih sesuatu yang cepat, mudah, dan murah. Hanya dengan menggunakan koneksi internet, orang dengan leluasanya dapat mengirim dan menerima berita.
Adanya konsep citizen journalism, dimana orang bisa dengan mudah memberitahukan apa yang mereka lihat, alami, dan rasakan kepada orang lain. Ya, ini akan mudah berkembang di era digital saat ini. Namun, keberadaan professional journalism tidak akan dengan mudahnya hancur. Hal ini dikarenakan professional journalism masih memegang amanat manusia untuk memenuhi hak untuk mendapat informasi dengan cara dan etika jurnalis yang ada.
Apakah nantinya professional journalism akan menjadi citizen journalism? Jawabnya TIDAK. Mengapa? Karena keduanya memiliki jembatan pemisah. Walaupun tidak menutup kemungkinan selama sepuluh tahun ke depan professional journalism akan cenderung berada atau memilih untuk menghidupkan media online, tapi mereka tetap bertindak dan melaporkan peristiwa sebagai professional journalism. Mereka memilih langkah demikian agaknya sangat berkaitan dengan salah satu keunggulan media online itu sendiri yang tidak mempunyai batasan-batasan dalam pemberitaan seperti layaknya news judgment di tiap-tiap industri media massa.
Dengan adanya kebebasan yang dimiliki membuat orang akan bisa berekspresi lewat tulisannya. Hal inilah yang kemungkinan akan membedakan antara professional journalism dengan citizen journalism. Professional journalism akan melihat suatu kejadian atau peristiwa dari dua sisi yang berbeda. Mereka akan mencari dan mengolah fakta yang ada untuk menjadikan sebuah berita itu berimbang atau cover both side. Professional journalism akan mengunakan kebebasan di media online berdampingan dengan kode etik yang melekat dalam profesinya.
Semakin maraknya jejaring sosial yang juga mewarnai dunia jurnalisme, bisa jadi akan membuat jejaring sosial itu sebagai media massa tertentu dengan karakternya sendiri di waktu mendatang.
Hal tersebut bisa saja berdampak positif maupun negatif. Sisi positifnya, orang akan dengan mudah mendapatkan informasi mengenai suatu hal. Di sisi lain, apakah orang bisa menyeleksi informasi tersebut? Artinya, dengan mudahnya orang menulis atau mengabarkan suatu informasi atau pesan lewat dunia maya, akan berdampak secara langsung ataupun tidak pada narasumber yang memberikan pernyataan. Bisakah kita dengan mudah mendapat informasi mengenai narasumber itu? Sementara media massa yang benar-benar riil (artinya, terlihat penanggung jawabnya) bisa terlilit kasus narasumber palsu. Ya, ini mengingatkan kita pada kasus Indy Rahmawati, yang tersandung kasus karena mewawancarai makelar kasus palsu.
Ya, itu kembali lagi pada masing-masing individu untuk lebih kritis dan selektif dalam memilih dan menerima terpaan berita.
Di sisi lain, berkembangnya media sosial online seperti Twitter, Facebook, dan lainnya, akan memperketat persaingan di media online itu sendiri. tidak menutup kemungkinan akan ada banyak sekali media-media sejenis yang bermunculan. Masalahnya, apakah dengan kemudahan pembuatan media-media tersebut akan memperkuat tanggung jawab atas media atau pemberitaanya? Atau justru mengenyampingkan tanggung jawab tersebut?
Intinya, aktivitas professional journalism akan terus berlanjut di sepuluh tahun mendatang, walaupun berbarengan dengan aktivitas citizen journalism. Untuk industri media massa di negara-negara yang sudah maju, mereka akan lebih terfokus pada media online. Namun demikian, di Indonesia masih tidak akan marak karena alasan-alasan SDM seperti yang sudah dijelaskan di awal.
Media-media Indonesia justru memanfaatkan media online sebagai pelengkap atau pendukung medianya. Seperti TVOne yang mempunyai akun Twitter, begitu pula dengan media massa lainnya. Tidak menutup kemungkinan, hal-hal yang dianggap sebagai pelengkap dewasa ini akan berubah menjadi substitusi hal-hal yang dianggap pokok. Artinya, di sepuluh tahun mendatang bisa jadi media massa akan beralih pada media online. Akibatnya, kebutuhan akan internet menjadi kebutuhan primer bukan lagi tersier.
Dengan berkembangnya media online justru akan membuat khalayak tidak hanya pasif seperti layaknya teori jarum hipodermik. Mereka dituntut aktif dalam mencari dan menyeleksi pesan-pesan yang ada. Bahkan, teori agenda setting kemungkinan tidak akan berlaku lagi apabila media online yang menjadi media pokok masa nanti. Mengapa? Karena orang akan memilih sendiri bidang atau cakupan berita yang mereka minati.
Ingatlah, sebagai khalayak yang diterpa oleh berbagai informasi dan berita, kita harus bisa menyaring itu semua. Dan juga, tidak semua media sosial yang ada sekarang, ataupun yang akan ada nanti, benar adanya. Jadi, berhati-hatilah dan tetap yakin bahwa aktivitas media massa di Indonesia dapat terus hidup.

Fitriana Aprilcilla Suherli, 210110080039
Kurniawan Agung Wicaksono, 210110080108